December 1, 2008

biennale bangladesh 13

The 13th Asian Art Biennale 2008.

The Asian Art Biennale yang organized oleh Bangladesh Shipakala Academy telah ada di Dhaka sejak tahun 1981. Kunci kesenian diwilayah itu, pengembangan dan kemajuan seniman-seniman yang mampu dipresentasikan sebagai bagian dari sejarah panjangnya. Pada Asian Bangladesh Biennale ke 13 ini saya merasa senang Instalasi Video saya bisa menjadi bagian dari sejarah panjang seperti yang telah di pijak oleh Sudjojono sebagai salah satu perwakilan Indonesia pada biennale pertama.

Bangladesh Biennale 13th kali ini merupakan biennale yg cukup besar dan lebih global, 27 negara yang mengikuti tidak hanya berasal dari kawasan asia saja namun beberapa negara eropa ikut serta didalamnya. Delapan seniman Indonesia masuk seleksi dan mewakili pada Asian Art Biennale 13th, namun dikarenakan keselahan waktu dan persiapan dari panitia Bangladesh biennale maka ada sekitar 6 negara termasuk Indonesia yang tidak masuk pada seleksi hadiah juri. Saya  (Maulana M Pasha) dan dua teman lain, Ibu Neneng Ferrier dan Monica Ary Kartika (Bandung) bisa hadir dan mengikuti acara dan seminar selama satu minggu di kota Dhaka.

Karya-karya dari Indonesia di presentasikan di Nasional Gallery Bangladesh di Dhaka, bersamaan dengan Negara Arab Saudi, Myanmar , Srilanka dan beberapa negara lainnya. Shakapala University yang mengatur biennale ini juga digunakan sebagai tempat presentasi karya-karya yang masuk dalam biennal ini.

Saya sampai di kota Dhaka bertepatan dengan hari penilaian akhir untuk penilaian hadiah pilihan juri, karya saya belum di display dikarenakan kesalahan waktu yang ditetapkan panitia Shipakala University, terimakasih banyak pada Kedutaan Besar Republik Indonesia yang pada saat itu sangat membantu saya dan 2 seniman Indonesia lainnya untuk mengejar ketertinggalan waktu dalam men-display karya. Perjalanan luar biasa dan cukup memusingkan dikarenakan kebudayaan dan keadaan kota Dhaka yang sangat padat.

Saya mempresentasikan karya video instalasi berjudul “Town Wall” , karya instalasi ini berupa bangunan terowongan berbahan alumunium sepanjang 4 meter dan memiliki sensor gerak yang menimbulkan suara yang jika sensor membaca ada gerakan disekeliling terowongan. Di ujung terowongan itu ada visual video saya mengenai underpass di Jakarta yang tidak habis terputus, sambung menyabung antar terowongan juga diperkuat audio dari narasi-narasi demonstrasi. 

Dua partisipan lain Ibu Neneng dan Monica mempresentasikan 3 oil painting dan 2 lukisan digital foto. Secara keseluruhan karya-karya dari Indonesia mendapat perhatian yang sangat besar dari penonton, hanya saying karena kesalahan teksni tidak bisa masuk dalam seleksi penilaian juri.

November 21, 2008

Mari Buat sejarah


..............1.... mari buat sejarah.
rekam, lihat dirimu kemudian rekam sekeliling mu

September 19, 2008

dziga Says


Dziga Vertov

The film drama is the Opium of the people…down with Bourgeois fairy-tale scenarios…long live life as it is!

1. rapid means of transport
2. highly sensitive film stock
3. light handheld film cameras
4. equally light lighting equipment
5. a crew of super-swift cinema reporters (etc)

Our eyes see very little and very badly – so people dreamed up the microscope to let them see invisible phenomena; they invented the telescope…now they have perfected the cinecamera to penetrate more deeply into he visible world, to explore and record visual phenomena so that what is happening now, which will have to be taken account of in the future, is not forgotten.

Provisional Instructions to Kino-Eye Groups, Dziga Vertov, 1926

Tetapi penguasa yang pusat adalah juga menjadi eksperimen-eksperimen jemu Vertov, dan mereka menolak untuk mendukung terbesar nya namun paling secara memberi penghargaan film kompleks, Manusia dengan suatu Proyektor Film (1929). Dengan berbagai kesulitan dalam mengusahakan film menyerang semua, Vertov harus telah menoleh ke belakang nostalgically pada daftar nama Kinok dari nya penting bagi suatu Kino-Eye filmmaker:

1. [alat; makna] cepat dari pengangkutan

2. bursa/stock film sangat sensitip

3. terangi handheld kamera-kamera film

4. dengan sama peralatan pencahayaan cahaya

5. suatu anak kapal dari wartawan-wartawan bioskop burung layang-layang yang hebat (dll)

This all looks like a shopping list for a post 1960s Direct Cinema crew and indeed filmmakers like the Maysles Brothers and Fred Wiseman all acknowledged the conceptual debt to Vertov's ideas and practices so many years before.

J-L Comolli in Cahiers du cinéma, nos 209, 211

Thirty years after his time it became possible to apply Vertov's injunctions without any loss between the idea—to film everything, record everything, to be in life without disturbing or falsifying it—and its realisation. (Vertov had been restricted to filming public manifestations, crowds, ceremonies, etc and was unable to seize everyday life because his equipment could not pass unnoticed).

John Grierson in Forsyth Hardy (ed.), 1966

With Dziga Vertov's Man with a Movie Camera we are at last initiated into the philosophy of the Kino-Eye. Some of us have been hearing a great deal about the Kino-Eye and it has worried us considerably. Only the younger high-brows seem to know anything about it.

…Now that Vertov has turned up in the original it is easier to see why intelligent students of cinema were betrayed into their extremity…Vertov, however, has pushed the argument to a point at which it becomes ridiculous. The camera observes in its own bright way, and he is prepared to give it its head.

Man with a Movie Camera is in consequence not a film at all: it is a snapshot album.

von Trier and Vinterberg, 1995

All this sounds as much like Marinetti as it does like Lars von Trier's proscriptions for the Dogme film group in the very late years of the twentieth century. Just compare Vertov (above) with this from the (Dogme) Group Manifesto in 1995:

The anti-bourgeois cinema itself became bourgeois, because the foundations upon which its theories were based was the bourgeois perception of art. The auteur concept was bourgeois romanticism from the very start and thereby ... false!
To DOGME 95, cinema is not individual! Today a technological storm is raging, the result of which will be the ultimate democratisation of the cinema.

Eisenstein’s words

MAKLUMAT

Mimpi akan filem-bersuara telah jadi nyata. Dengan ditemukannya pembuatan filem bersuara, Amerika telah melangkah lebih dulu dalam mementingkan dan mempercepat pemanfaatannya. Dengan tujuan yang sama, Jerman pun kini tengah bergiat mengerjakannya. Seluruh dunia sedang membicarakan benda-bisu yang telah belajar bicara.

Kita semua yang berkarya di Republik Sosialis Uni Sovyet sadar bahwa dengan kemampuan teknik kita, kita takkan dapat memajukan terwujudnya filem-bersuara di masa depan yang dekat ini. Di saat yang sama, kami mempertimbangkan hal itu sebagai kesempatan guna menyatakan sejumlah alasan mendasar mengenai wahana teoritis demi memperhitungkan munculnya penemuan tersebut, bahwa kemajuan dalam filem ini menjadi kerja pengarahan yang keliru. Sementara pandangan keliru akan kemampuan yang sejalan penemuan teknik baru itu mungkin tak hanya menghalangi pengembangan dan penyempurnaan sinema sebagai seni, tetapi juga ancaman yang akan menghancurkan segenap pencapaian resmi kita saat ini.

Filem, yang di saat ini bekerja dengan imaji-imaji [citraan] visual, berdampak sangat kuat terhadap manusia dan berhak penuh meraih kedudukan utama di antara seni-seni yang lain.

Sudah diketahui bahwa makna dasar (dan satu-satunya) yang telah membawa sinema pada daya pengaruh sangat kuatnya ialah MONTASE. Kekuatan montase sebagai makna terdepan terhadap pengaruh ini, telah jadi kata-pembenar tak-terbantahkan bagi dunia luas pembangunan kebudayaan sinema.

Pada tingkatan terpenting, keberhasilan filem-filem Sovyet di layar dunia merupakan hak metode-metode [tatacara] montase yang mulai diadakan dan dikonsolidasikan.

Karena itu, demi pengembangan sinema selanjutnya, masa terpenting satu-satunya ini adalah perluasan dan penguatan metode montase yang dapat mempengaruhi penonton. Dari sudut-pandang ini, pengujian tiap penemuan baru akan mudah menunjukkan tidak bermaknanya filem berwarna dan stereoskopik dibandingkan dengan luasnya makna SUARA.

Rekaman-suara merupakan penemuan sampingan dan paling memungkinkan untuk terus digunakan selama kurangnya garis pertahanan, atau selama rendahnya garis pemuasan keingintahuan.

Di tahap awal akan terjadi ekploitasi komersial [pencarian keuntungan] barang yang paling dapat dijual: FILEM BICARA. Dengan rekaman suara, barang itu akan sampai pada bentuk naturalistiknya di layar, tepatnya, kaitannya dengan gerak dan bukti kepastian ”ilusi” dari tokoh yang berbicara, dari benda-benda yang bersuara dan sebagainya.

Masa awal kegemparan itu tidak merusak pengembangan seni baru ini, melainkan masa tenang berikut yang mencemaskan, masa yang akan mengisi rusaknya kemurnian dan kejelasan tangkapan awal peluang teknik baru itu, yang dapat mempertegas jaman penggunaan otomatisnya demi ”ketinggian drama budaya” jaman ini maupun tampilan fotografis lain dari sejenis teater.

Dengan cara ini, penggunaan suara dapat menghancurkan kebudayaan montase, karena tiap TEMPELAN suara pada sepotong montase visual memperbesar kebekuannya sebagai montase dan memperbesar kebebasan maknanya –yang niscaya merusak montase, bukan mengoperasikan langsung pada potongan-potongan montase, melainkan pada PERANGKAIAN (JUXTAPOSITION)-nya.

HANYA PENGGUNAAN CONTRAPUNCTUAL suara terkait dengan potongan montase visual sajalah yang dapat menguntungkan kemampuan baru pengembangan dan penyempurnaan montase.

KARYA AWAL PERCOBAAN DENGAN SUARA HARUS TERARAH SEPANJANG GARIS ANTARA SUARA LANGSUNG DENGAN CITRAAN-CITRAAN VISUALNYA. Dan hanya gempuran semacam ini akan menghasilkan kejelasan utama yang lalu menuju pembentukan ORKESTRASI TAMBAHAN dari citraan-citraan visual dan aural.

Penemuan teknik baru ini bukan peristiwa kebetulan sejarah filem, melainkan jalan keluar alamiah [organis] atas segala kebuntuan beruntun yang terasa mengandung keputusasaan terhadap budaya sinema garda-depan.

KEBUNTUAN PERTAMA adalah tema ikutan dan sama-sekali merupakan upaya sia-sia untuk mengaitkannya dengan komposisi montase sebagai potongan montase (seperti membedah kalimat atau kata-kata, peningkatan dan penurunan luas tipe yang terpakai, jalannya gerak kamera, animasi dan sebagainya).

KEBUNTUAN SUARA adalah potongan-potongan PAPARAN (contohnya, sisipan close-up tertentu) yang membebani komposisi montase dan melambankan alur-waktu.

Tugas tema dan cerita kian lebih rumit tiap saat; upaya-upaya guna memecahkan hal itu dengan metode montase ”visual” lain itu sendiri mengarah pada masalah tak terselesaikan maupun memaksa sutradara agar mengandaikan penempatan struktur [bangunan] montase yang pada akhirnya membangkitkan kekhawatiran atas kemerosotan dan kereaksioneran yang tak berguna.

Pemasangan suara sebagai unsur montase baru (faktor terpisah dari citraan visual) atas makna baru tak terelakkan dari kekuatan luar-biasa ungkapan seni dan jalan-keluar upaya terumit, kini menekan kita dengan mustahilnya penanganan melalui makna dari metode filem yang tak sempurna, yang bergerak dengan hanya citraan visual semata.

METODE CONTRAPUNCTUAL pembentukan filem-bersuara bukan tidak melemahkan SINEMA DUNIA, kecuali membatasinya pada peredaran dalam negeri, dibanding sebagaimana dulu pernah terjadi dengan pemotretan drama-panggung namun telah dapat memberi kemungkinan bagi persebaran gagasan-gagasan ekspresi filmis ke sepenjuru dunia.

Penandatangan :

S. M. Eisenstein

V. I. Pudovkin

G. V. Alexandrov

_________________

[catatan : ”Maklumat” bersama yang bersejarah ini secara umum mengusulkan kewajiban insiatif dan tersusun dari ketiga penandatangan pertama dan ditutup oleh dua penandatangan lain, muncul pertama kali di Leningrad dalam majalah Zhizn Iskusstva, 5 Agustus 1928. Sebelum itu, naskah utuh berbahasa Inggrisnya diterjemahkan dari terbitan pernyataan ini kemudian dalam bahasa Jerman di bulan yang sama. Terjemahan yang sekarang ini merupakan terjemahan pertama berbahasa Inggris yang langsung berasal dari naskah asli berbahasa Rusianya. Sebagaimana telah diandaikan dalam ”Pernyataan” itu, langkah pengembangan teknik filem-bersuara Uni Sovyet berjalan lamban. Pada September tahun itu, teknologi-suara Shorin buat pertama kali dicoba di Leningrad, dan ujicoba tersebut lalu ditampilkan di Moskow pada Maret tahun berikutnya di teknologi Tager yang telah diujicoba pada bulan Juli 1929. Agustus tahun itu juga, studio Sovkino di Leningrad membangun ruang-suaranya yang pertama, yang mulai dipakai untuk mensikronisasikan filem secara lengkap di masa itu. Seiring penayangan filem Old and New-nya Eisenstein di bulan Oktober 1929, Eisenstein, Alexandrov dan Tisse, ditetapkan guna mempelajari filem-bersuara di luar negeri.]

August 26, 2008

Sedikit Tentang Video


Sedikit Tentang Video

Video quality is a characteristic of a video passed through a video transmission/processing system, a formal or informal measure of perceived video degradation (typically, compared to the original video). Video processing systems may introduce some amounts of distortion or artifacts in the video signal, so video quality evaluation is an important problem.

Video records at 50 (Eurasia) or 60[4] (US & Japan) images per second (ips) depending on the national system used; The flicker or refresh rate on a television screen is fixed to one or the other nationally chosen standards. A technique called interlace uses persistence of vision to combine two consecutive images (or fields) to create one frame with higher detail in non-moving areas. Because the fields are exposed and displayed separately, a single TV "frame" can potentially contain motion or even two distinct images.

With ordinary video from video cameras, the flicker rate and the image rate are the same. However, when footage shot on 24 Hz film is shown on 60 Hz TV, each film frame is repeated for 2.5 consecutive fields to produce 60 fields per second. (see 3:2 pulldown) In countries using 50 Hz TV, 24 frame/s film is sped up by 4% to produce 25 frames (50 fields) per second.

Many modern video systems also decouple display from image update, for example, systems using LCD or plasma panels with continuous light output, or intermediate frame buffers that increase the display rate to 100 or 120 fields per second. Such implementations can occur on low-flicker purpose-built CRT TVs, but decoupling can happen inadvertently on any display connected to a HTPC.

Objective video evaluation techniques are mathematical models that approximate results of subjective quality assessment, but are based on criteria and metrics that can be measured objectively and automatically evaluated by a computer program. Objective methods are classified based on the availability of the original video signal, which is considered to be of high quality (generally not compressed). Therefore, they can be classified as Full Reference Methods (FR), Reduced Reference Methods (RR) and No-Reference Methods (NR). FR metrics compute the quality difference by comparing every pixel in each image of the distorted video to its corresponding pixel in the original video. RR metrics extract some features of both videos and compare them to give a quality score. They are used when all the original video is not available, e.g. in a transmission with a limited bandwidth. NR metrics try to assess the quality of a distorted video without any reference to the original video. These metrics are usually used when the video coding method is known.

The most traditional ways of evaluating quality of digital video processing system (e.g. video codec like DivX, XviD) are calculation of the Signal-to-noise ratio (SNR) and peak signal-to-noise ratio (PSNR) between the original video signal and signal passed through this system. PSNR is the most widely used objective video quality metric. However, PSNR values do not perfectly correlate with a perceived visual quality due to non-linear behavior of human visual system. Recently a number of more complicated and precise metrics were developed, for example UQI, VQM, PEVQ, SSIM and CZD.

The performances of an objective video quality metric are evaluated by computing the correlation between the objective scores and the subjective tests results. The latters are called Mean Opinion Score (MOS). The most frequently used correlation coefficients are : linear correlation coefficient, Spearman's rank correlation coefficient, Kurtosis, Kappa coefficient and Outliers Ratio.

When estimating quality of a video codec, all the mentioned objective methods may require repeating post-encoding tests in order to determine the encoding parameters that satisfy a required level of visual quality, making them time consuming, complex and impractical for implementation in real commercial applications. For this reason, a lot of research has been focused on developing novel objective evaluation methods which enable prediction of the perceived quality level of the encoded video before the actual encoding is performed [1].

Aside from a few configurations used in the early 1990s, computer monitors do not use interlacing. They may sometimes seem to flicker, especially in a brightly lit room. This is due to the greater likelihood that a computer monitor will occupy the viewer's peripheral vision, where sensitivity to flickering is greater. Generally, a refresh rate of 85 Hz or above (as found in most modern monitors) is sufficient to minimize flicker at close viewing distances, and all recent computer monitors are capable of at least that rate. Flat-panel Liquid Crystal Display (LCD) monitors do not suffer from flicker even if their refresh rate is 60 Hz or even lower. This is because LCD pixels open to allow a continuous stream of light to pass through until instructed by the video signal to produce a darker color; see also ghosting. CRTs by comparison create a momentary burst of light each time the electron beam strikes a particular point on the CRT.